Implikasi Putusan MK tentang Ambang Batas Presiden dalam Pemilu di Indonesia
Judul : Implikasi Putusan MK tentang Ambang Batas Presiden dalam Pemilu di Indonesia
Penulis : Prof. Dr. KH. M. Noor Harisudin, S.Ag., S.H., M. Fil.I., CLA., CWC. & Gatot Irianto, S.H., M.H.
Berat : 350 gr
Halaman : x+112
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Katagori Buku : Lepas
ISBN : dalam Proses
Penerbitan : Pena Salsabila
Sinopsis
Buku
ini merupakan hasil dari pemikiran penulis setelah adanya PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) NOMOR 62/PUU-XXII/2024 ketentuan presidential threshold dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU
No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sebagai payung hukum pelaksanaan pemilu
presiden dan wakil presiden tidak menjalankan ketentuan norma dalam pasal 6A
Ayat (2), justru mengerdilkan bahkan bertentangan dengan ketentuan dalam pasal
tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 222 UU N0.
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Presidential threshold yang saat ini diatur melalui UU No. 7
Tahun 2017 dalam Pasal 222 mengatur bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilu sebelumnya yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada
pemilu legislatif sebelumnya. Sejak norma presidential threshold
berlaku, persoalan mengenai syarat ambang batas selalu mengemuka tiap kali pilpres
diselenggarakan. Di samping itu, presidential thereshold dan UU No. 7
Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi undang-undang paling sering diajukan dalam
permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pada
2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi
terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
yang selama ini menjadi dasar penerapan presidential threshold. Ketentuan
tersebut mewajibkan partai politik atau gabungannya memiliki minimal 20% kursi
DPR atau 25% suara sah nasional untuk dapat mencalonkan pasangan presiden dan
wakil presiden. Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan
presiden atau presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222
Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Keputusan ini tertuang dalam putusan
perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo di ruang
sidang MK. Putusan
ini menjadi signifikan karena sebelumnya MK telah menerima 32 permohonan judicial
review terhadap pasal yang sama, namun seluruhnya ditolak, tidak dapat
diterima, atau ditarik kembali. Keputusan MK kali ini membuka babak baru dalam
sistem kepemiluan Indonesia dan menuai beragam respons dari kalangan partai politik
maupun masyarakat sipil. Untuk itu penulis menganggap bahwa hal tersebut
menarik mengingat putusan tersebut merupakan babak baru dalam sistem pemilu di
Indonesia.
